1. Pengertian
Perjanjian Internasional
Perjanjian
Internasional adalah
sebuah perjanjian yang
dibuat di bawah hukum internasional oleh
beberapa pihak yang berupa negara atau organisasi internasional.
Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak yang mengatur hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian bilateral dibuat antara dua negara.
Sedangkan, perjanjian multilateral adalah perjanjian yang dibuat oleh lebih
dari dua negara.
Istilah
perjanjian merujuk pada interaksi antarnegara dalam menyelesaikan berbagai
masalah atau konflik kepentingan di berbagai bidang, seperti bidang politik,
ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan (militer). Sebuah
perjanjian harus dapat memberikan manfaat bagi negara-negara yang bergabung
dalam suatu perjanjian. Terdapat beberapa pengertian perjanjian yang dikemukakan
oleh para ahli hubungan internasional, antara lain :
a. Mochtar Kusumaatmadja, SH. LL.M
Perjanjian internasional sebagai
perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan
untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.
b. Konferensi Wina 1969
Perjanjian internasional adalah
perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untuk
mengadakan akibat-akibat hukum tertentu yang harus dipatuhi oleh setiap negara
berdasarkan hukum internasional yang berlaku.
c. Oppenheimer
Dalam bukunya yang berjudul International
Law, Oppenheimes mendefinisikan perjanjian internasional sebagai “international
treaties are states, creating legal rights and obligations between the parties”
atau perjanjian internasional melibatkan negara-negara yang menciptakan hak dan
kewajiban di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut.
d. K.J. Holsti
Perjanjian internasional merupakan hasil
interaksi antarnegara yang diwakili pemerintah bersepakat untuk merundingkan,
menyelesaikan, dan membahas masalah, mengemukakan bukti teknis untuk menyetujui
satu penyelesaian, dan mengakhiri perundingan dengan perjanjian yang memuaskan
kedua belah pihak.
- G. Schwarzenberger
Perjanjian
internasional adalah suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional
yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional.
f. Pasal
38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional
Perjanjian
internasional baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung
ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang
bersangkutan.
Perjanjian Internasional adalah
perjanjian yang diadakan oleh masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan
mengakibatkan hukum tertentu. Perjanjian internasional sekaligus menjadi subjek
hukum internasional. Perjanjian internasional juga lebih menjamin kepastian hukum
serta mengatur masalah-masalah bersama yang penting. Disebut perjanjian
internasional jika perjanjian diadakan oleh subjek hukum internasional yang
menjadi anggota masyarakat internasional.
Kedudukan
Perjanjian Internasional dianggap sangat penting karena beberapa alasan, yaitu
:
a.
Perjanjian internasional lebih menjamin
kepastian hukum sebab perjanjian internasional diadakan secara tertulis.
b.
Perjanjian internasional mengatur
masalah-masalah kepentingan bersama diantara para subjek hokum internasional.
2. Penggolongan Perjanjian Internasional
Klasifikasi
Perjanjian Internasional dapat dibedakan menjadi :
·
Menurut Jumlah Pesertanya
Secara
garis besar, ditinjau dari segi jumlah pesertanya, Perjanjian Internasional
dibagi lagi ke dalam:
a.
Perjanjian Internasional
Bilateral,
Perjanjian Internasional yang jumlah peserta atau
pihak-pihak yang terikat di dalamnya terdiri atas dua subjek hukum
internasional saja (negara dan / atau organisasi internasional,
dsb). Kaidah hukum yang lahir dari perjanjian bilateral bersifat khusus
dan bercorak perjanjian tertutup (closed treaty), artinya kedua pihak harus
tunduk secara penuh atau secara keseluruhan terhadap semua isi atau pasal dari
perjanjian tersebut atau sama sekali tidak mau tunduk sehingga perjanjian tersebut
tidak akan pernah mengikat dan berlaku sebagai hukum positif, serta melahirkan
kaidah-kaidah hukum yang berlaku hanyalah bagi kedua pihak yang bersangkutan.
Pihak ketiga, walaupun mempunyai kepentingan yang sama baik terhadap kedua
pihak atau terhadap salah satu pihak, tidak bisa masuk atau ikut menjadi pihak
ke dalam perjanjian tersebut.
b. Perjanjian
Internasional Multilateral
Perjanjian
Internasional yang peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalam perjanjian
itu lebih dari dua subjek hukum internasional. Sifat kaidah hukum yang
dilahirkan perjanjian multilateral bisa bersifat khusus dan ada pula yang
bersifat umum, bergantung pada corak perjanjian multilateral itu sendiri. Corak
perjanjian multilateral yang bersifat khusus adalah tertutup, mengatur hal-hal
yang berkenaan dengan masalah yang khusus menyangkut kepentingan pihak-pihak
yang mengadakan atau yang terikat dalam perjanjian tersebut. Maka dari segi
sifatnya yang khusus tersebut, perjanjian multilateral sesungguhnya sama dengan
perjanjian bilateral, yang membedakan hanya dari segi jumlah pesertanya
semata. Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat umum, memiliki corak
terbuka. Maksudnya, isi atau pokok masalah yang diatur dalam perjanjian itu
tidak saja bersangkut-paut dengan kepentingan para pihak atau subjek hukum
internasional yang ikut serta dalam merumuskan naskah perjanjian tersebut,
tetapi juga kepentingan dari pihak lain atau pihak ketiga. Dalam konteks
negara, pihak lain atau pihak ketiga ini mungkin bisa menyangkut seluruh negara
di dunia, bisa sebagian negara, bahkan bisa jadi hanya beberapa negara saja.
Dalam kenyatannya, perjanjian-perjanjian multilateral semacam itu memang
membuka diri bagi pihak ketiga untuk ikut serta sebagai pihak di dalam
perjanjian tersebut. Oleh karenanya, perjanjian multilateral yang terbuka ini
cenderung berkembang menjadi kaidah hukum internasional yang berlaku secara
umum atau universal.
·
Menurut kaidah hukum yang
dilahirkannya
Penggolongan
Perjanjian Internasional dari segi kaidah terbagi dalam 2 (dua) kelompok:
a. Treaty
Contract.
Sebagai
perjanjian khusus atau perjanjian tertutup, merupakan perjanjian yang hanya
melahirkan kaidah hukum atau hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang hanya berlaku
antara pihak-pihak yang bersangkutan saja. Perjanjian ini bisa saja berbentuk
perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral.
Perlu
menjadi catatan bahwa sebagaimana sifatnya yang khusus dan tertutup menyangkut
kepentingan-kepentingan para pihak yang bersangkutan saja, maka tidak ada
relevansinya bagi pihak lain untuk ikut serta sebagai pihak di dalamnya dalam
bentuk intervensi apapun, maupun relevensinya bagi para pihak yang bersangkutan
untuk mengajak atau membuka kesempatan bagi pihak ketiga untuk ikut serta di
dalamnya.
b. Law Making
Treaty.
Sebagai
perjanjian umum atau perjanjian terbuka, merupakan perjanjian-perjanjian yang
ditinjau dari isi atau kaidah hukum yang dilahirkannya dapat diikuti oleh
subjek hukum internasional lain yang semula tidak ikut serta dalam proses
pembuatan perjanjian tersebut. Dengan demikian perjanjian itu, ditinjau
dari segi isi atau materinya maupun kaidah hukum yang dilahirkannya tidak saja
berkenaan dengan kepentingan subjek-subjek hukum yang dari awal terlibat secara
aktif dalam proses pembuatan perjanjian tersebut, melainkan juga dapat
merupakan kepentingan pihak-pihak lainnya.
Oleh
karena itulah dalam konteks subjek hukumnya adalah negara, biasanya
negara-negara perancang dan perumus perjanjian itu membuka kesempatan bagi
negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk ikut sebagai peserta atau
pihak dalam perjanjian tersebut. Semakin bertambah banyak negara-negara yang
ikut serta di dalamnya maka semakin besar pula kemungkinannya menjadi kaidah
hukum yang berlaku umum.
Law
making treaty ini pun dapat dijabarkan lagi berdasarkan jenisnya menjadi:
i. Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang
diaturnya adalah masalah yang menjadi kepentingan beberapa negara saja.
ii. Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang diatur
di dalamnya merupakan kepentingan sebagian besar atau seluruh negara di dunia.
iii. Perjanjian terbuka atau umum yang berdasarkan ruang lingkup masalah
ataupun objeknya hanya terbatas bagi negara-negara dalam satu kawasan tertentu
saja.
·
Menurut prosedur atau tahap
pembentukannya
Dari segi prosedur atau tahap
pembentukanya Perjanjian Internasional dibagi ke dalam dua kelompok yaitu:
a.
Perjanjian
Internasional yang melalui dua tahap.
Perjanjian
melalui dua tahap ini hanyalah sesuai untuk masalah-masalah yang menuntut
pelaksanaannya sesegera mungkin diselesaikan. Kedua tahap tersebut meliputi
tahap perundingan (negotiation) dan tahap penandatanganan (signature). Pada
tahap perundingan wakil-wakil para pihak bertemu dalam suatu forum atau tempat
yang secara khusus membahas dan merumuskan pokok-pokok masalah yang
dirundingkan itu.
Perumusan
itu nantinya merupakan hasil kata sepakat antara pihak yang akhirnya berupa
naskah perjanjian. Selanjutnya memasuki tahap kedua yaitu tahap penandatangan,
maka perjanjian itu telah mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang
bersangkutan. Dengan demikian, tahap terakhir dalam perjanjian dua tahap,
mempunyai makna sebagai pengikatan diri dari para pihak terhadap naskah
perjanjian yang telah disepakati itu.
b.
Perjanjian Internsional yang melalui tiga tahap.
Pada
Perjanjian Internasional yang melalui tiga tahap, sama dengan proses Perjanjian
Internasionl yang melalui dua tahap, namun pada tahap ketiga ada proses
pengesahan (ratification). Pada perjanjian ini penandatangan itu bukanlah
merupakan pengikatan diri negara penandatangan pada perjanjian, melainkan hanya
berarti bahwa wakil-wakil para pihak yang bersangkutan telah berhasil mencapai
kata sepakat mengenai masalah yang dibahas dalam perundingan yang telah
dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian.
Agar
perjanjian yang telah di tandatangani oleh wakil-wakil pihak tersebut mengikat
bagi para pihak, maka wakil-wakil tersebut harus mengajukan kepada pemerintah
negaranya masing-masing untuk disahkan atau diratifikasi. Dengan dilalui tahap
pengesahan atau tahap ratifikasi ini, maka perjanjian itu baru berlaku atau
mengikat para pihak yang bersangkutan. Ditinjau dari sudut isi maupun materi
dari perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap ini, pada umumnya menyangkut
hal-hal yang mengandung nilai penting atau prinsipil bagi para pihak yang
bersangkutan. Hanya saja kriteria mengenai penting atau tidak pentingnya
masalah tersebut, ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara yang bersangkutan.
·
Menurut jangka waktu berlakunya
Pembedaan
atas Perjanjian Internasional berdasarkan atas jangka waktu berlakunya, secara
mudah dapat diketahui pada naskah perjanjian itu sendiri, sebab dalam beberapa
Perjanjian Internasional hal ini ditentukan secara tegas. Namun demikian, dalam
hal Perjanjian Internasional tersebut tidak secara tegas dan eksplisit
menetapkan batas waktu berlakunya, dibutuhkan pemahaman yang mendalam akan
sifat, maksud dan tujuan perjanjian itu, karena hakikatnya perjanjian itu dimaksudkan
untuk berlaku dalam jangka waktu tertentu atau terbatas. Misalnya, jika objek
yang diperjanjikan itu sudah terlaksana atau terwujud sebagaimana mestinya,
maka perjanjian tersebut berakhir dengan sendirinya.
Ada
memang perjanjian-perjanjian yang tidak menetapkan batas waktu berlakunya
karena dimaksudkan berlaku sampai jangka waktu yang tidak terbatas, sepanjang
dan selama perjanjian itu masih dapat memenuhi keinginan para pihak atau masih
mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan umum, namun sesungguhnya perjanjian
ini tetap terbatas, yakni pada kebutuhan dan perkembangan zaman itu sendiri.
Dilihat dari sudut materinya, corak perjanjian ini merupakan perjanjian yang
mengandung kaidah hukum yang penting, terutama bagi para pihak yang
bersangkutan.
·
Menurut
Subjeknya
a.
Perjanjian antar negara yang
dilakukan oleh banyak negara yang merupakan subjek hukum internasional.
b.
Perjanjian internasional antar negara dan
subjek hukum internasional lainnya, seperti antara organisasi
internasional Tahta Suci (Vatican) dengan organisasi Uni Eropa.
c.
Perjanjian antar sesama subjek hukum internasional
selain negara, seperti antara suatu organisasi
internasional dan organisasi internasional lainnya. Contoh: Kerjasama ASEAN dan
Uni Eropa.
·
Menurut
Isinya
a.
Segi
politis, seperti Pakta Pertahanan dan Pakta Perdamaian. Contoh:
Nato, ANZUS, dan SEATO.
b.
Segi
ekonomi, seperti bantuan ekonomi dan bantuan keuangan. Contoh:
CGI, IMF, IBRD, dan sebagainya.
c.
Segi
hukum, seperti status kewarganegaraan (Indonesia – RRC),
ekstradisi dan sebagainya.
d.
Segi
batas wilayah, seperti laut teritorial, batas alam daratan,
dan sebagainya.
e.
Segi
kesehatan, seperti masalah karantina, penanggulangan wabah
penyakit AIDS, dan sebagainya.
·
Menurut
Fungsinya
a.
Perjanjian yang membentuk hukum (law making
treaties)
Suatu
perjanian yang melakukan ketentuan-ketentuan atau kaidah-kaidah hukum bagi
masyarakat internasional secara keseluruhan (bersifat multilateral). Perjanjian
ini bersifat terbuka bagi pihak ketiga. Contoh: konfernsi Wina tahun 1958
tentang hubungan diplomatik. Konvensi Montego tentang Hukum laut internasional
tahun1982, dan sebagainya.
b.
Perjanjian yang bersifat khusus (treaty
contract)
Perjanjian
yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara-negara yang mengadakan
perjanjian saja (perjanjian bilateral). Contoh: Perjanjian antara RI dan RRC
mengenai dwikewarganegaraan tahun 1955, perjanjian batas wilayah, pemberantasan
penyeludupan-penyelundupan dan sebagainya.
3. Istilah-Istilah
dalam Perjanjian Internasional
Nama
|
Uraian
|
Trakat (Treaty)
|
Yaitu Perjanjian paling formal yang
merupakan persetujuan dari dua Negara atau lebih. Perjanjian ini khusus
mencakup bidang politik dan bidang ekonomi.
|
Konvensi (Convention)
|
Yaitu pesetujuan formal yang bersifat
multilateral, dan tidak berurusan dengan kebijaksanaan tingkat tinggi (high
policy). Persetujuan ini harus dilegalisasi oleh wakil-wakil yang berkuasa
penuh (plaenipotentiones).
|
Pesetujuan (Agreement)
|
Yaitu perjanjian yang bersifat teknis atau
administratif. Agreement tidak diartikan karena sifatnya tidak seresmi trakat
dan konvensi.
|
Perikatan (Arrangement)
|
Yaitu istilah yang digunakan untuk
transaksi-transaksi yang bersifat sementara. Perikatan ini tidak seresmi
trakat dan konvensi.
|
Proses Verbal
|
Yaitu catatan-catatan atau
ringkasan-ringkasan atau kesimpulan-kesimpulan konferensi diplomatik, atau
catatan-catatan suatu permufakatan. Proses verbal tidak diratifikasi.
|
Piagam (Statute)
|
Yaitu himpunan peraturan yang ditetapkan
oleh persetujuan internasional baik mengenai pekerjaan maupun
kesatuan-kesatuan tertentu seperti pengawasan internasional yang mencakup
tentang minyak atau mengenai lapangan kerja lembaga-lembaga internasional.
Piagam itu dapat digunakan sabagai alat tambahan untuk pelaksanaan suatu
konvensi (seperti piagam kebebasan transit).
|
Prokol (Protocol)
|
Yaitu persetujuan yang tidak resmi dan pada
umumnya dibuat oleh kepala Negara, mengatur masalah-masalah tambahan seperti
penafsiran klausul-klausul tertentu.
|
Deklarasi (Declaration)
|
Yaitu Perjanjian internasional yang
berbentuk trakat, dan dokumen tidak resmi. Deklarasi sebagai trakat bila
menerangkan suatu judul dari batang tubuh ketentuan trakat, dan sebagai
dokumen tidak resmi apabila merupakan lampiran pada trakat atau konvensi,
Deklarasi sebagai persetujuan tidak resmi bila mengatur hal-hal yang kurang
penting.
|
Modus (Vivendi)
|
Yaitu dokumen untuk mencatat persetujuan
internasional yang berhasil
diwujudkan perjumpaan yang lebih permanen, terinci, dan sistematis serta
tidak memerlukan ratifikasi.
|
Pertukaran Nota
|
Yaitu metode yang tidak resmi, tetapi
akhir-akhir ini banyak digunakan. Biasanya, pertukaran nota dilakukan oleh
wakil-wakil militer dan negara serta dapat bersifat multirateral. Akibat
pertukaran nota ini timbul kewajiban yang menyangkut mereka.
|
Ketentuan
Penutup (Final Act)
|
Yaitu ringkasan hasil konvensi yang
menyebutkan negara peserta, nama utusan yang turut diundang, serta masalah
yang disetujui konferensi dan tidak memerlukan ratifikasi.
|
Ketentuan Umum (Generak Act)
|
Yaitu trakat yang dapat bersifat resmi dan
tidak resmi. Misalnya, LBB (Liga Bangsa-Bangsa) menggunakan ketentuan umum
mengenai arbitasi untuk menyelesaikan secara damai pertikaian internasional
tahun1928.
|
Charter
|
Yaitu istilah yang dipakai dalam perjanjian
internasional untuk pendirian badan yang melakukan fungsi administraif.
Misalnya, Antalantic Charter.
|
Pakta (Pact)
|
Yaitu istilah yang menunjukan suatu
persetujuan yang lebih khusus (Pakta Warsawa). Pakta membutuhkan ratifikasi.
|
Convernant
|
Yaitu anggaran dasar LBB (Liga
Bangsa-Bangsa)
|
Diplomasi (Diplomacy)
|
Yaitu sarana yang sah (legal), terbuka dan terang-terangan
yang digunakan oleh suatu Negara dalm melaksanakan poltik luar negeri. Untuk
menjalin hubungan di antara Negara-negara itu, biasanya negara tersebut
saling menempatkan perwakilan (konsuler atau kedutaan).
|
Negoisasi
|
Yaitu
untuk mengadakan perundingan / pembicaraan baik dengan Negara di mana ia
diakreditas maupun oleh Negara lain.
|
4. Tahap-
tahap Pembuatan Perjanjian Internasional
Perjanjian
internasional adalah suatu perjanjian yang diatur dalam hukum internasional
yang dibuat secara tertulis dalam bentuk dan nama tertentu serta menimbulkan
hak dan kewajiban bagi pihak-pihak tertentu (negara atau organisasi). Dalam
hukum internasional, tahapan pembuatan hukum internasional diatur dalam
Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum (Perjanjian) Internasional. Konvensi
tersebut mengatur tahap-tahap pembuatan perjanjian baik bilateral (dua negara)
mau pun multilateral (banyak negara).
Dalam
melakukan perjanjian, suatu negara harus melakukan tahap-tahap pembuatan
perjanjian. Tahap-tahap tersebut dilakukan secara berurutan, yaitu mulai dari
perundingan antarnegara yang berkepentingan, penandatanganan MOU, agreement,
atau pun treaty yang mengikat negara-negara yang membuat perjanjian, mensahkan
perjanjian tersebut melalui ratifikasi yang melibatkan dewan perwakilan atau
parlemen. Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional
menyebutkan tiga tahap dalam melakukan perjanjian internasional, yaitu :
a.Perundingan(Negotiation)
Perundingan dilakukan oleh
wakil-wakil negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan mandat
tertentu. Wakil-wakil negara melakukan perundingan terhadap masalah yang harus
diselesaikan. Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri,
atau duta besar. Perundingan juga dapat diwakili oleh pejabat dengan membawa
Surat Kuasa Penuh (full power). Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka
perundingan tersebut meningkat pada tahap penandatanganan.
b.Penandatanganan(Signature)
Penandatanganan perjanjian
internasional yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani
oleh kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah
perjanjian ditandatangani maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau
pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara-negara yang
menandatangani perjanjian.
c.Pengesahan(Ratification)
Ratifikasi dilakukan oleh DPR
dan pemerintah. Pemerintah perlu mengajak DPR untuk mensahkan perjanjian karena
DPR merupakan perwakilan rakyat dan berhak untuk mengetahui isi dan kepentingan
yang diemban dalam perjanjian tersebut. Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa
masalah perjanjian internasional harus mendapatkan persetujuan dari DPR.
Apabila perjanjian telah disahkan atau diratifikasi dengan persetujuan DPR maka
perjanjian tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung
jawab.
Di Indonesia, tahapan
pembuatan perjanjian internasional dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat
(1) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Dalam Pasal 6 ayat
(1) disebutkan pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap-tahap
berikut ini.
a. Penjajakan, merupakan tahap awal yang
dilakukan para pihak yang akan melakukan perundingan mengenai kemungkinan
dibuatnya suatu perjanjian internasional.
b. Perundingan, merupakan tahap setelah adanya kesepakatan yang dibuat dalam
tahap penjajakan. Perundingan merupakan tahap kedua yang membahas materi dan
masalah-masalah teknis yang akan disepakati dalam perjanjian internasional.
c. Perumusan naskah, merupakan tahap pembuatan perjanjian internasional yang
tujuannya untuk merumuskan rancangan suatu perjanjian internasional yang akan
ditandatangani para pihak terkait.
d. Penerimaan, merupakan tahap penerimaan para pihak atas naskah perjanjian
yang telah dirumuskan dan disepakati.
e. Penandatanganan, yaitu tahap akhir dalam perundingan bilateral untuk
melegalisasi suatu naskah perjanjian internasional yang telah disepakati oleh
kedua pihak.
Terdapat
perbedaan kekuatan untuk mengikat dalam perjanjian bilateral (perjanjian dua
negara) dengan perjanjian multilateral (banyak negara). Dalam perundingan
bilateral, kesepakatan atas naskah awal hasil perundingan dapat disebut
“penerimaan”. Penerimaan dilakukan dengan membubuhkan inisial atau paraf pada
naskah perjanjian internasional oleh ketua delegasi masing-masing. Dalam
perundingan multilateral, proses penerimaan (acceptance/approval) umumnya
merupakan tindakan pengesahan suatu negara atas perubahan perjanjian
internasional.
Untuk
perjanjian multilateral, penandatanganan perjanjian internasional bukan
merupakan pengikatan diri sebagai negara pihak yang tunduk pada ketentuan
perjanjian internasional.Negara dapat dikatakan terikat pada perjanjian
internasional setelah dilakukan pengesahan baik dalam bentuk ratifikasi
(ratification), aksesi (accession), penerimaan (acceptance), maupun penyetujuan
(approval). Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu
perjanjian internasional dalam bentuk
a)Ratifikasi
Ratifikasi (ratification) dilakukan apabila negara yang akan mengesahkan suatu
perjanjian internasional turut menandatangani naskah perjanjian.
b)Aksesi
Aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian
internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian.
c)Penerimaan
Penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima
atau menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional
atas perubahan perjanjian internasional tersebut.
Selain
pengesahan, negara-negara yang terlibat dalam perjanjian intenasional dapat
menyatakan persyaratan (reservation) atau deklarasi/ (declaration). Reservasi
(reservation) adalah pernyataan sepihak suatu negara untuk tidak menerima
berlakunya ketentuan tertentu pada perjanjian internasional, dalam rumusan yang
dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan suatu
perjanjian internasional yang bersifat multilateral. Pernyataan (declaration)
adalah pernyataan sepihak suatu negara tentang pemahaman atau penafsiran
mengenai suatu ketentuan dalam perjanjian internasional.
Pernyataan
dibuat ketika menandatangani, menerima, menyetujui, atau mengesahkan perjanjian
internasional yang bersifat multilateral guna memperjelas makna ketentuan tersebut.
Dalam praktiknya, terdapat perjanjian-perjanjian internasional yang tidak
memerlukan pengesahan dan langsung berlaku setelah penandatanganan. Untuk
perjanjian-perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan terdapat
beberapa bentuk pengesahan.
Di
Indonesia, pengesahan perjanjian internasional menjadi hukum positif Indonesia
menggunakan sistem campuran. Landasan yuridis pembuatan perjanjian
internasional didasarkan pada ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945, yang
berbunyi Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,
membuat perdamaian, dan membuat perjanjian dengan negara lain. Ketentuan
tersebut bersifat umum dan tidak memuat bagaimana proses pembuatan perjanjian
internasional yang dilakukan Indonesia dengan pihak lain. UUD 1945 juga tidak
memuat ketentuan bagaimana proses pengikatan diri terhadap perjanjian yang
dibuat.
Pada
masa Pemerintahan Orde Lama, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUD
1945, didasarkan pada ketentuan yang ada dalam Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960.
Surat tersebut dibuat dan dikirim Presiden Soekarno kepada Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 22 Agustus 1960. Inti Surat Nomor 2826
HK/1960 adalah pemerintah meminta persetujuan DPR, jika materi perjanjian
internasional tersebut bersifat penting. Akan tetapi, jika perjanjian
mengandung materi lain, DPR cukup diberitahukan saja. Dalam praktiknya, terjadi
berbagai penyimpangan dalam melaksanakan surat presiden tersebut sehingga perlu
dibuat undang-undang tentang Perjanjian Internasional.
Surat Presiden Nomor 2826/HK/1960 berlaku hingga tahun 2000. Surat Nomor 2862
HK/1960 tersebut tidak berlaku lagi setelah diundangkannya UU Nomor 24 Tahun
2000 Tentang Perjanjian Internasional pada tanggal 23 Oktober 2000. Dengan
demikian, segala bentuk perjanjian dan proses pengesahan perjanjian
internasional tidak lagi didasarkan pada ketentuan Surat Nomor 2862 HK/1960
tapi mengacu pada ketentuan pada UU Nomor 24 Tahun 2000.
Dalam
UU Nomor 24 Tahun 2000, proses pengesahan perjanjian internasional diatur pada
BAB III (Pasal 9 – 14) tentang Pengesahan Perjanjian Internasional. Menurut
ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2000, semua pengesahan perjanjian internasional
dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden. Selain perjanjian
internasional yang perlu disahkan dengan undang-undang atau keputusan presiden,
Pemerintah RI juga dapat membuat perjanjian internasional melalui cara-cara
lain sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian tersebut.